MAKALAH EKOLOGI
TUMBUHAN
HUTAN RAWA
GAMBUT
Dosen
Pembimbing : Dr. Elfis, M.Si
Nama
Mahasiswa :
1.
Ryza Raudatin Laila
2.
Setiawati
3.
Sevrianti Siwi Retnaning Puji
4.
Shearly Masriani
5.
Wahyuni Zikrina
6.
Yahya
Jurusan Biologi
Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan
Universitas Islam Riau
2013 / 2014
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT karena atas nikmat karunia-Nya, maka kelompok kami
dapat menyelesaikan makalah Ekologi Tumbuhan yang berjudul “Faktor Edaphis
Hutan Rawa Gambut”
Kami
mengucapkan terima kasih kepada pihak terkait yang telah membantu kami dalam
menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu
kami mengharapkan pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Terima
kasih dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita
semua.
Pekanbaru, 01 April 2014
Penulis
Ekosistem Hutan
Rawa Gambut
1. Pengertian Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut merupakan hutan dengan lahan basah yang tergenang yang biasanya terletak di belakang tanggul sungai (backswanp).
Hutan ini didominasi oleh tanah-tanah yang berkembang dari tumpukan bahan organik, yang lebih dikenal sebagai tanah gambut atau tanah organic (Histosols).
Dalam skala
besar,
hutan ini membentuk
kubah (dome) dan
terletak diantara dua sungai besar.
2. ProsesTerjadinya Hutan Rawa
Gambut
Hutan rawa gambut terbentuk dalam 10.000 – 40.000 tahun. Awalnya berupa cekungan
yang menahan air tidak bisa keluar. Setelah 5.000
tahun, maka permukaan akan
naik. Lama-kelamaan hutan rawa gambut secara bertahap akan tumbuh. Karena air tidak keluar dan
terjadi pembusukan kayu, maka terjadi
penumpukan nutrient. Kalau
kawasan rawa
gambut dibuka, maka air dan nutriennya akan keluar,
dan
yang akan terjadi adalah kawasan
rawa gambut akan
dangkal dan unsur
hara sangat sedikit.
3. Hutan Rawa Gambut
di Indonesia
Terdapat 400 juta hektar lahan gambut di dunia, 90 %
diantaranya terdapat di daerah temperate
dan 10
%
sisanya berada di daerah beriklim tropis. Indonesia
sendiri mempunyai 20.6 juta Ha atau 10.8 % luas daratan Indonesia. 35% di Sumatera, 32% di Kalimantan, 3% di Sulawesi dan 30% di Papua. Fungsinya yang penting bagi keseimbangan ekosistem membuat lahan ini patut dipertahankan. Sementara
menurut Widjaya-Adhi 4,19
juta hektar hutan rawa gambut
Indonesia telah dialihfungsikan.
4. Komponen Penyusun
Hutan Rawa Gambut
Beberapa komponen
penyusun ekosistem termasuk ekosistem Hutan
Rawa
Gambut
adalah
sebagai
berikut
: Bentukan lahan yang membentuk kubah menciptakan perbedaan ketinggian antara daerah tepi sungai dengan puncak kubah. Hal ini yang menciptakan kemungkinan adanya aliran air dari puncak kubah ke
pinggiran sungai hingga
menciptakan komposisi lahan yang khas dan
dapat menunjang kehidupan-kehidupan
yang
ada dalam ekosistem tersebut
Berdasarkan sifat
hidup
atau tidaknya, komponen ekosistem dibagi
dua:
1. Komponen Biotik : Komponen
Hidup
Terdiri
atau
flora,
fauna,
maupun
manusia
yang
hidup
dalam suatu
lingkungan ekosistem, dalam hal ini adalah hutan rawa gambut.
2. Komponen Abiotik : Komponen
Tidak Hidup
Terdiri atas komponen penyusun lingkungan seperti cahaya matahari, nutrient, air,
udara, tanah, dan komponen
lain
dalam hutan rawa gambut.
Komponen Biotik
Kekhasan lingkungan abiotik hutan Rawa Gambut membuat hanya spesies
tertentu yang mampu bertahan di lingkungan ekosistem ini. Berdasarkan sub ekosistem yang ada
pada
ekosistem ini (akan dibahas kemudian) beberapa tipe komponen biotic yang dapat hidup disekitar kawasan
ekosistem ini adalah sebagai berikut
:
1. Subekosistem sungai :
Ikan, Udang, Siput, dan
hewan sungai lain. Ganggang dan lumut
Tumbuhan air seperti enceng gondok
2. Subekosistem lahan
Salin
Mangrove dan
nipah Ganggang dan
lumut Siput
dan
lain-lain
3. Subekosistem Rawa Gambut
Kayu (meranti, jati) rotan, dan hasil hutan lain
Beberapa spesies hewan langka : harimau pada hutan rawa gambut sumsel, dan gajah sumatera)
Berbagai
macam spesies burung
Disamping itu semua
disekitar kawasan hutan rawa
gambut juga
tak jarang banyak kawasan permukiman, biasanya penduduk yang tinggal didekat kawasan tersebut hidupnya bergantung pada hasil hutan seperti pengolahan
kayu atau rotan.
Komponen Abiotik
Berdasaran penyebab genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga, yaitu rawa pasang
surut, rawa lebak (rawa non pasang surut)
dan rawak lebak peralihan.
a. Rawa pasang surut
Rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang genangannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Tingginya air pasang dibedakan menjadi dua, yai tu pasang besar dan
pasang kecil. Pasng kecil, terjadi secara harian
(1-2 kalisehari).
b.
Rawa lebak
Rawa lebak adalah lahan rawa yang genangannya terjadi karena luapan air sungai dan atau
air hujan di daerah cekungan
pedalaman.
Genangannya umumnya
terjadi pada musim
hujan dan menyusut
pada
musim kemarau.
c.
Rawa lebak peralihan
Lahan rawa lebak yang pasang surutnya
air
laut masih terasa
di saluran primer atau di
sungai. Pada lahan sperti ini, endapan laut
dicirikan oleh
adanya lapisan pirit, biasanya
terdapat pada kedalaman 80 - 120 cm dibawah permukaan tanah.
Berdasarkan kedalaman
gambut hutan ini dikelompokkan
menjadi
:
·
Lahan gambut
dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan
gambut 50-100 cm;
·
Lahan gambut
sedang, yaitu lahan dengan ketebalan
gambut 100-200
cm;
·
Lahan gambut
dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut
200-300 cm;
·
Lahan gambut
sangat dalam, yaitu lahan
dengan
ketebalan
gambut lebih dari 300 cm.
Berikut
beberapa karakteristik lingkungan
abiotik Kawasan
hutan
Rawa
gambut:
a. Kapasitas Menahan Air
Menurut Suhardjo dan Dreissen
Lahan gambut
mampu menyerap air hingga 850%
dari
berat keringnya. Oleh sebab itu, gambut memiliki
kemampuan sebagai
penghambat air
saat musim hujan
dan melepaskan
air saat musim kemarau.
Besarnya
kapasitas penahan air lahan gambut menyebabkan penggundulan hutan
gambut membuat lingkungan sekitar rawan banjir dan rembesan air laut kedalam
tanah.
b.
Kering
Tak
Balik (Hydrophobia Irreversible)
Sifat lahan gambut yang kering tak balik maksudnya ketika terjadi alih fungsi lahan gambut dan diganti dengan sistem irigasi dan
drainase berupa parit menyebabkan
lahan gambut kering dan sulit memunculkan fungsinya kembali sekalipun lahan ini dijadikan hutan lagi.
Hal
ini disebabkan proses
terbentuknya lahan gambut yang rumit dan
dalam jangka waktu yang panjang
c.
Daya hantar Hidrolik
Gambut
memiliki daya hantara hidrolik (atau daya penyaluran air) secara horizontal cepat. Dalam artian gambut dapat menghantar unsur hara dengan mudah
secara horizontal sedangkan
daya penyaluran air
vertical yang lambat
berarti
gambut lapisan luar (atas) cenderung kering meskipun bagian bawah hutan rawa
gambut
sangat basah
d. Daya tumpu
Pori tanah yang besar dan kerapatan rendah menyebabkan Tanah Gambut memiliki daya tumpu yang lemah. Dengan kata lain tanaman yang tumbuh di
hutan ini
cenderung murah roboh.
Apalagi hutan ini disominasi tumbuhan yang berakar
serabut guna mengatur
kadar air yang masuk didaerah basah seperti
ini.
e.
Mudah Terbakar
Sifat lahan gambut yang kaya nutrient dan relative kering dipermukaan menyebabkan lahan gambut mudah terbakar. Biasanya
kebakaran gambut ini sulit
dipadamkan
karena cepat
menjalar
ke lapisan dalam gambut.
f. Kesuburan
Gambut
Kesuburan gambut
dibagi menjadi tiga tingkatan :
1. Eutropik
(subur)
2. Mesotropik
(sedang)
3. Oligotopik (tidak subur)
Biasanya lahan yang hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber air cenderung
lebih tidak
subur.
Sedangkan lahan yang ikut mengandalkan sumber air sungai
relative lebih subur
dari yang lainnya.
g. Biasanya terdapat pada hutan hujan
dataran
rendah bertopografi
relative datar
h. Pengikat
karbon yang baik
Fungsi sebagai pengikat karbon hutan rawa gambut sangat membantu keseimbangan iklim global mengingat emisi
karbon diudara dituduh sebagai penyebab utama pemanasan
global yang terjadi belakangan
5.
Ragam
Subekosistem Hutan Rawa
Gambut
Berdasarkan letak Hutan Rawa Gambut yang unik Ekosistem ini teridi atas beberapa tipe subekosistem berikut
batas-batasnya sebagaimana gambar:
1. Sub Ekosistem Sungai
Sama
seperti sungai dan pinggiran sungai yang lainnya, sub ekosistem ini menjadi
habitat banyak fauna
seperti keong, siput, cacing,
ikan dan beberapa jenis flora pinggiran sungai.
2. Sub Ekosistem Lahan
Salin
Lahan salin adalah lahan pasang surut
(bagi kawasan
pinggiran pantai) dan
kawasan yang terpengaruh rembesan air sungai bagi pinggiran sungai). Lahan salin pada
pinggiran pantai mendapat pengaruh rembesan air laut terutama pada musim kemarau. Pada
hutan gambut, rembesan air laut tak hanya terjadi ketika
hutan
gambut
berbatasan
langsung
dengan pantai melainkan bisa karena air
masuk
melalui sungai pada
waktu pasang atau adanya rembesan melalui pori tanah.
Sementara lahan salin adalah lahan Pasang surut yg kadar garamnya lebih dari 0.8
%.
Biasanya dihuni tumbuhan bakau. Sedangkan lahan salin yang hanya berair asin ketika
kemarau disebut lahan salin peralihan. Biasanya
diitumbuhi tanaman nipah.
Tipe sub ekosistem ini yang disebut sebagai lahan potensial didalam gambar
3. Sub Ekosistem Rawa Gambut
Sub ekosistem Rawa Gambut mempunyai karakteristik umum
hutan rawa gambut dimana terdiri dari lahan basah yang berperan penting dalam mengikat karbon dan
menyerap
air.
4. Keterkaitan Antar
Komponen Ekosistem
Keberadaan komponen Abiotik yang khas membentuk suatu karakter sendiri pada hutan rawa gambut yang membuat hutan ini berbeda dengan hutan yang lainnya. Keberadaan
lahan
salin
yang dirembesi air asin membuat mangrove dapat hidup pada lahan salin Hutan
Rawa Gambut. Sedangkan air yang mendominasi ekosistem ini dan pori tanah yang cukup
besar membuat tumbuhan rotan dan tumbuhan lain dapat hidup pada ekosisitem jenis
hutan rawa
gambut.
Begitu juga
manusia
sebagai salah satu komponen biotic pada
hutan rawa
gambut memiliki ketergantungan tersendiri terhadap kawasan ini.
Sebagaimana
beberapa penduduk
wilayah setempat tergantung hidup dari mengolah rotan atau kayu yang berasal dari hutan. Siklus
saling ketergantungan inilah yang menciptakan keseimbangan pada ekosisitem rawa gambut
ini.
Ketika satu rantai keseimbangan pada hutan rawa gambut dirusak, akan menyebabkan kerusakan pada rantai-rantai
lain
yang
saling
tergantung.
Contohnya ketika manusia terlalu rakus mengeksploitasi rotan dan kayu dihutan, maka akan tercipta
penggundulan hutan gambut di titik tertentu hingga aliran air yang ada akan menglirkan unsure
hara dan
bermuara di sungai atau laut. Hal ini
akan menjadikan lahan kering
dan rusak hingga fungsinya sebagai pengikat
karbon
terganggu dan
akan menciptakan
perubahan iklim global serta
bencana
banjir. Demikian ketika
satu rantai dirusak akan menrusak rantai lain
yang ada dalam ekosisitem tersebut
termasuk pada hutan
rawa gambut
5. Peran dan masalah-masalah
Hutan Rawa gambut
Peran Hutan Rawa
Gambut :
1. Pengontrol system hidrologi
kawasan
2. Gudang pengikat karbon
3. Habitat satwa penting
4. Tumpuan hidup
manusi
Lahan gambut memberikan fungsi ekonomi ketika
manusia
mampu mengolah hasil hutan yang ada seperti kayu,
ikan,
rotan, dan lain-lain,
fungsi kesehatan ketika
manusia mampu mengolah obat obatan dan
fungsi pengontrol iklim global bagi kesejahteraan
manusia.
Masalah Terkait Konservasi Hutan Rawa Gambut
1. Maraknya kebakaran
hutan
rawa gambut
2. Pencurian
kayu (illegal logging)
3. Pembukaan
lahan
di sekitar hutan rawa gambut
4. Konversi
(alih fungsi)
menjadi
lahan
perkebunan dan pertanian
Beberapa akibat kerusakan Hutan rawa Gambut:
a.
Kurang fungsi penyerapan air
Besarnya
peran Hutan rawa Gambut yang mampu menyerap 850%
dari
volume tanah kering menyebabkan ketidak seimbangan hidrologi kawasan sekitar.
Ketika
hutan rawa
gambut dibuka
maka air dan nutrient hutan akan keluar dan gambut akan miskin unsure hara dan sangat kering.
Fungsi pengikat air ini sendiri tidak dapat dipulihkan lagi dalam waktu yang singkat. Dangkalnya unsure
hara
pada hutan rawa gambut menyebabkan penurunan
permukaan
tanah
hingga tumbuhan yang mampu
bertahan
makin berkurang gersang, dan tidak ada lagi hewan yang
mampu hidup. Hal ini mengancam
keberlanjutan hewan-hewan langka
yang hidup didalamnya. Dan ketika
musim
hujan, ancaman banjir akan semakin besar meskipun hutan ini
telah diganti dengan
parit dan system drainase yang baik.
b.
Pemanasan
Global tinggi
karna karbon hilang
Lahan gambut merupakan pengikat karbon yang baik. Jika lahan
gambut
berkurang, karbon yang dilepaskan akan semakin banyak, Karbon
lapisan
ozon
akan membengkak hingga merusak ozon. Demikian
Lahan gambut
harus dipertahankan.
c. Penurunan Permukaan tanah menimbulkan genangan air yang sifatnya permanen.
Selain itu penurunan lahan bergambut
menyebabkan lahan
mongering dan
semakin
mempertinggi
peluang terjadinya kebakaran
lahan
d.
Lahan yang rusak dan
tidak produktif
lagi
biasanya
akan ditinggalkan
oleh penduduk.
Berikut
bagan pengaruh berkurangnya ekosistem hutan
rawa gambut :
Kerugian Kerusakan Hutan rawa Gambut
a.
Kerugian ekologis : menurunnya kualitas ekologis
sebagai system penyangga, kurang jenis flora dan fauna yang
merupakan sumber plasma nutfah, berubahnya fungsi hidrologi dan pola hujan
local dan
regional.
b.
Kerugian estetis dan nilai alamiah :
hutan
wisata berkurang dan kenyamanan
berkurang, keseimbangan ilmiah ekosistem rusak.
c. Kerugian
sosial : berkurangnya mata pencarian hidup penduduk
Beberapa Strategi
Pertahanan Hutan Rawa Gambut
1. Penutupan kanal sebagai
pencegah illegal logging
2. Rehabilitasi
hutan
3. Kejian kebijakan
4. Patroli
intensif (Pembentukan unit
pengamanan
hutan
regional)
5. Penjelasan status kepemilikan
lahan,
6. Pembentukan hutan tanaman industry (HTI) bekerja sama dengan
masyarakat.
7. Kampanye kesadaran lingkungan
8. Pelarangan penebangan
jenis kayu tertentu
EDAPHIS
BAB I
Hutan rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan formasi
klimatis (climaticformation) dengan tipe hutan formasi
edaphis (edaphic formation).Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi
adalah temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut
terdapat pada daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan
lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak di antara hutan
rawa dengan hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan,1976).
MenurutSoerianegara (1977) dan
Zuhud serta Haryanto (1994), hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 – 2 meter dan digenangi
air gambut yang berasal dari air hujan (miskin hara, oligotrofik)
dengan jenis tanah organosol.
Di
Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau
Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan
pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar
pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke
bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang
luas di bagian selatan Papua.
BAB II
Komposisi Tanah
Hutan Rawa Gambut
Hutan
rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climatic
formation) dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim
yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban,
intensitas cahaya dan angin.
Hutan
rawa gambut terdapat pada daerah-daerah tipe iklim A dan B dan tanah organosol
dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak di antara
hutan rawa dengan hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut
Soerianegara (1977) dan Zuhud serta Haryanto (1994), hutan ini tumbuh di atas
tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 – 2 meter dan digenangi air gambut yang
berasal dari air hujan (miskin hara, oligotrofik) dengan jenis tanah organosol.
Menurut
Soil Taxonomy, tanah gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik
dengan ketebalan minimal 40 atau 60 cm, bergantung pada bobot jenis (BD) dan
tingkat dekomposisi bahan organik. Sedangkan bahan organik adalah:
1) Apabila
dalam keadaan jenuh air, mempunyai kandungan C-organik paling sedikit 18% jika
kandungan liatnya 60% atau lebih; atau mempunyai Corganik 12% atau lebih jika
tidak mempunyai liat; atau mempunyai C-organik lebih dari {12 + (% liat x 0,
10)}% jika kandungan liat 0−60%.
2)
Apabila tidak jenuh air, mempunyai kandungan C-organik minimal 20 %. Dalam
praktek digunakan kedalaman minimal 50 cm, dengan definisi bahan tanah organik
mengikuti batasan Soil Taxonomy tersebut. Proses dekomposisi bahan organik
dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Dalam
pemanfaatan lahan gambut, perlu diperhatikan faktor ketebalan gambut.
Identifikasi dan pengelompokan ketebalan gambut dibedakan atas empat kelas,
yaitu:
a.
Gambut dangkal (50−100 cm),
b.
Gambut sedang (101−200 cm)
c.
Gambut dalam (201−300 cm)
d.
Gambut sangat dalam (> 300 cm).
Secara
kimiawi, tanah gambut umumnya bereaksi masam (pH 3,0-4,5). Gambut dangkal
mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0-5,1) daripada gambut dalam (pH 3,1-3,9).
Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na) dan kejenuhan basa rendah. Kandungan Al pada
tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH
tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi
tanaman karena rasio C/N tinggi. Kandungan unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan
Zn, sangat rendah, namun kandungan besi (Fe) cukup tinggi (Tim Sintesis
Kebijakan, 2008).
Pembagian Hutan Rawa
Gambut
Tanpa
memandang tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan
induknya menjadi tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
a. Gambut
endapan: Gambut endapan biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam.
b. Berserat:
Gambut ini mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan
berbagai derajat dekomposisi
c. Gambut
kayuan: Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik.
Menurut
kondisi dan sifat-sifatnya, gambut di sini dapat dibedakan atas:
1. Gambut
topogen ialah lapisan tanah gambut yang
terbentuk karena genangan air yang terhambat drainasenya pada tanah-tanah
cekung di belakang pantai, di pedalaman atau di pegunungan. Gambut jenis ini
umumnya tidak begitu dalam, hingga sekitar 4 m saja, tidak begitu asam airnya dan relatif
subur; dengan zat hara
yang berasal dari lapisan tanah mineral di dasar cekungan, air
sungai, sisa-sisa tumbuhan,
dan air hujan. Gambut topogen
relatif tidak banyak dijumpai.
2. Gambut
ombrogen lebih sering dijumpai, meski semua
gambut ombrogen bermula sebagai gambut topogen. Gambut ombrogen lebih tua
umurnya, pada umumnya lapisan gambutnya lebih tebal, hingga kedalaman 20 m, dan
permukaan tanah gambutnya lebih tinggi daripada permukaan sungai di dekatnya.
Kandungan unsur hara tanah sangat terbatas, hanya bersumber dari lapisan gambut
dan dari air hujan, sehingga tidak subur. Sungai-sungai atau drainase yang
keluar dari wilayah gambut ombrogen mengalirkan air yang keasamannya tinggi (pH 3,0–4,5), mengandung
banyak asam humus
dan warnanya coklat kehitaman seperti warna air teh
yang pekat. Itulah sebabnya sungai-sungai semacam itu disebut juga sungai air
hitam.
C.
Vegetasi Hutan Rawa Gambut
Di
Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau
Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan
pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar
pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke
bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang
luas di bagian selatan Papua.
Jenis-jenis
pohon yang banyak terdapat pada tipe hutan ini diantaranya adalah Alstonia spp,
Tristania spp, Eugena spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra,
Dactylocladus stenostacys, Diospyros spp dan Myristica spp. Jenis-jenis pohon
terpenting yang terdapat pada formasi hutan rawa gambut adalah : Campnosperma
sp., Alstonia sp., Cratoxylon arborescens, Jackia ornata dan Ploiarium
alternifolium).
Menurut
Witaatmojo (1975) pada hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk, yaitu
lapisan tajuk teratas yang dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus
bancanus), mentibu (Dactylocladus stenostachys), jelutung (Dyera lowii),
pisang-pisang (Mezzetia parviflora), nyatoh (Palaqium spp), durian hutan (Durio
sp), kempas (Koompassia malaccensis) dan jenis-jenis yang umumnya kurang
dikenal. Lapisan tajuk tengah yang pada umunya dibentuk oleh jenis
jambu-jambuan (Eugenia sp), pelawan (Tristania sp), medang (Litsea spp),
kemuning (Xantophyllum spp), mendarahan (Myristica spp) dan kayu malam
(Diospyroy spp). Sedangkan lapisan tajuk terbawah terdiri dari jenis suku
Annonaceae, anak-anakan pohon dan semak dari jenis Crunis spp, Pandanus spp,
Zalaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan merambat diantaranya Uncaria
spp.
BAB III
Hutan
rawa gambut merupakan kombinasi tipe hutan formasi klimatis (climatic
formation) dengan tipe hutan formasi edaphis (edaphic formation). Faktor iklim
yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah temperatur, kelembaban,
intensitas cahaya dan angin. Menurut kondisi dan sifat-sifatnya, gambut di sini
dapat dibedakan atas gambut topogen dan gambut ombrogen.
Secara
kimiawi, tanah gambut umumnya bereaksi masam (pH 3,0-4,5). Gambut dangkal
mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0-5,1) daripada gambut dalam (pH 3,1-3,9).
Kandungan basa (Ca, Mg, K dan Na) dan kejenuhan basa rendah. Kandungan Al pada
tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, dan berkurang dengan menurunnya pH
tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi
tanaman karena rasio C/N tinggi. Kandungan unsur mikro, khususnya Cu, Bo dan
Zn, sangat rendah, namun kandungan besi (Fe) cukup tinggi (Tim Sintesis
Kebijakan, 2008).
Di
Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur Pulau
Sumatera dan merupakan jalur panjang dari Utara ke Selatan sejajar dengan
pantai timur, di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar
pantai memanjang ke Selatan dan ke Timur sepanjang pantai selatan sampai ke
bagian hilir Sungai Barito. Di samping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang
luas di bagian selatan Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar