KLIMATOLOGIS
BAB I
Lahan
gambut berperan penting bagi kesejahteraan manusia sebagai Penghasil ikan,
hasil hutan non kayu, “carbon – sink”, sebagai penahan banjir, pemasok air,
berbagai proses biokimia yang berhubungan dengan air, mengandung plasma nutfah
yang bermanfaat (sumber karbohidrat, protein, minyak dan antibiotik).
Pengembangan lahan gambut untuk pertanian telah dimulai sejak kolonial.
Masyarakat Bugis, Banjar, Cina, Melayu telah mampu mengembangkan pertanian
secara berkelanjutan dengan teknik sederhana dengan skala kecil.
Pengembangan
lahan gambut dengan skala besar dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1970 an
yang dikaitkan dengan program transmigrasi. Pemanfaatan lahan gambut dapat
dijadikan lahan alternatif untuk pengembangan pertanian, meskipun perlu
pengelolaan yang tepat, dukungan kelembagaan yang baik dan profesional serta
pemantauan secara terus menerus. Potensi lahan gambut di Indonesia cukup luas
diperkirakan antara 17,4 – 20 juta hektar yang tersebardi wilayah Pulau
Kalimantan, Sumatera dan sebagian di Papua. Pemanfaatan lahan gambut untuk
pertanian dimaksudkan menghilangkan kelebihan air permukaan dan air dibawah
permukaan serta mengendalikan muka air tanah.
Pemanfaatan
lahan gambut untuk pertanian melalui reklamasi dari hutan rawa gambut (peat
swamp forest) mengakibatkan perubahan ekosistem alami (gambut sebagai
restorasi dan konservasi air) menjadi ekosistem lahan pertanian mempunyai
konsekuensi perubahan sifat bawaan (inherent) seperti biofisk dan kimia
gambut dan lingkungan. Banyak dan beragam kendala yang dihadapi dalam
pengembangan lahan rawa ini baik teknis, sosial, ekonomi maupun budaya.
Masalah teknis utama termasuk adalah pengelolaan lahan dan air.
BAB II
A.
Karakteristik Lahan Gambut
Bahan
induk pembentuk tanah adalah bahan organik hasil akumulasi bagian – bagian
tanaman hutan hujan tropika. Gambut tropika mumnya berukuran kasar sekasar
batang, dahan dan ranting tumbuhan, sehubungan hal itu maka penetapan
karakteristikgambut dengan metode konvensonal menjadi bias. Tanah gambut
umumnya terbentuk karena kondisi jenuh air atau karena temperatur yang rendah,
sehingga proses dekomposisi berlangsung nisbi lambat dibanding proses
akumulasi. Tanah ganbut terbentuk dari endapan bahan organik sedenter
(pengendapan setempat) yang berasal dari sisa jaringan tumbuhan yang menumbuhi
dataran rawa dengan ketebalan bervariasi, tergantung keadaan topografi/tanah
mineral di bawahnya. Bahan dasar penyusun tanah gambut didominasi oleh lignin
dengan lingkungan yang kahat oksigen, sehingga proses dekomposisi bahan organiknya
lambat. Sifat fisika tanah gambut, khususnya hidrolikanya ditentukan oleh
tingkat pelapukan bahan organiknya. Pengelompokan tanah gambut berdasarkan
tingkat dekompoisi bahan organik dan berat volume menghasilkan tiga macam tanah
gambut,yakni fibrik, hemik, dan saprik. Pengendalian drainase lahan
gambut, dimaksudkan untuk mencegah terjadinya oksidasi gambut sehingga dapat
menurunkan dekomposisi gambut. Hal ini dapat dimungkinkan dengan penggenangan,
menghindari pengusikan (distrubance) dan mengatur tinggi permukaan air
tanah (ground water level) di daerah rhizosfer. Drainase gambut harus
didekati dengan perspektif total pengelolaan air yaitu dengan meminimalisir “stress”
lengas tanah.
B.
Iklim Hutan Rawa Gambut
Iklim adalah sintesis hasil pengamatan cuaca untuk memperoleh deskripsi secara
statistik mengenai keadaan atmosfier pada daerah yang sangat luas (Barry, 1981
dalam Wenger, 1984).
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984) iklim makro adalah iklim yang nilai-nilainya
berlaku untuk daerah yang luas, sedangkan iklim mikro hanya berlaku untuk
tempat atau ruang yang terbatas. Dikemukakan lebih lanjut bahwa iklim makro
dipergunakan untuk menentapkan tipe iklim, zona iklim, zona vegetasi dan
sebagainya, sedangkan iklim mikro berhubungan dengan habitat atau lingkungan
mikro.
Menurut
Kramer dan Kozlowski (1960) dalam Idris (1996), faktor-faktor iklim yang
penting bagi hidup dari pertumbuhan individu dan masyarakat tumbuh-tumbuhan
adalah cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban udara, gas udara dan
angin. Menurut de Rozari (1987)
suhu udara di dekat permukaan mempunyai arti penting bagi kehidupan oleh karena
selain kebanyakan bentuk kehidupan terdapat di permukaan, juga ada kaitan erat
antara beberapa proses kehidupan dengan suhu.
C.
Suhu dan Kelembaban Hutan Rawa Gambut
Dari
segi biologi, profil suhu udara penting untuk diketahui karena adanya perbedaan
yang tajam antara suhu permukaan dengan udara di atasnya, menyebabkan sebagaian
organisme hidup berada seketika pada dua rejim suhu yang sangat berlainan.
Sebuah kecambah yang baru muncul, memperoleh cekaman bahang luar biasa
dibandingkan dengan cekaman yang akan dialaminya kemudian.
Dalam
sebuah hutan, suhu udara maksimum biasanya lebih rendah dan suhu minimum lebih
tinggi daripada di daerah yang terbuka. Selama siang hari, daun-daun dalam
tajuk menghalang-halangi masuknya radiasi matahari ke lantai hutan. Suhu di
dalam tajuk dipertahankan melalui transpirasi dari daun-daun. Pengaruh ini
mencegah suhu pada siang hari meningkat secara cepat; dengan demikian ruangan
di bawah tajuk lebih dingin daripada daerah terbuka selama siang hari.
Suhu tanah yang sangat mempengaruhi aktivitas biotis awal dan pertumbuhan pohon
paling sedikit tergantung kepada tiga faktor, yaitu (1) jumlah bersih panas
yang diadsorbsi, (2) energi panas yang diperlukan yang membawa perubahan pada
suhu tanah dan (3) energi panas yang dibutuhkan untuk perubahan lain.
Kelembaban relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni berkisar
90 % - 96 %, baik dalam hutan alami maupun hutan gundul atau lahan kosong. Pada
musim kemarau, kelembaban menurun menjadi 80 %, dan pada bulan-bulan kering
berkisar 0 % - 84 % Pada siang hari di muism kemarau, kelembaban dapat mencapai
67 % - 69 %. Tetapi pada pai hari, kelembaban pada musim kemarau lebih tinggi
daripada musim hujan, yaitu dapat mencapai 90 % - 96%(Rieley,etal.,1996).
B. Pengolahan
Lahan Gambut Untuk Pengembangan Pertanian
1.
Pengelolaan lahan
gambut tradisional untuk tanaman padi
2.
Di dalam sistem handil,
parit utama dibuat kurang lebih tegak lurus badan sungai, ukuran parit utama
lebar 2 m dalam 1 – 2 m), Setiap sekitar 200 m dibuat parit parit sekunder
tegak lurus parit utama. Pada parit utama sebelum di persimpangan parit sekunder
dibuat tabat untuk mengatur air. Di hulu parit utama selalu disisakan parit
utama sebagai tandon (”reservoir”) air untuk menggelontor air masam dan
kemudian mengairi lahan untuk tanaman padi lokal yang olah tanahnya
dilaksanakan secara tradisional. Dengan sistem ini pertanian padi dapat lestari
(sustainable) sampai saat ini dengan tingkat produktivitas antara 2,0 –
2,5 t/ha tiap tahun.
3.
Pengelolaan lahan
gambut tradisional untuk tanaman kelapa
4.
Parit dibuat ukuran
minimal, pengaturan air dibuat dengan menerapkan sistem tabat, produktivitas
tanaman kelapa dapat kontinu sampai saat ini.
5.
Pengelolaan lahan
gambut untuk tanaman perkebunan kelapa
6.
Pengelolaan lahan
gambut dalam satu ekosistem pulau. Sistem drainase dikendalikan dengan baik
untuk menjaga muka air dalam tanah disesuaikan dengan ruang perakaran yang
diperlukan oleh tanaman. Produksi kelapa dapat menopang industri perkebunan.
7.
Pengelolaan lahan
gambut tradisional untuk tanaman sagu
8.
Parit dibuat ukuran
kecil dan pengaturan air dibuat dengan menerapkan sistem tabat, produktivitas
tanaman sagu dapat dikelola dalam skala industri.
9.
Pengelolaan lahan
gambut untuk hutan tanaman industri
Pengembangan
hutan tanaman industri (HTI) tanaman Acasia mangium dan Acasia
crasicarpa di kaki kubah gambut. Parit (saluran) primer cukup besar lebar
antara 8 – 10 meter karena selain untuk drainase juga untuk transportasi
(navigasi), namun permukaanair dijaga ketat. Saluran sekunder (lebar 2 – 3
meter) dan saluran tertier (1 – 2 meter) cukup kecil untuk mengendalikan permukaan
air tanah. Perkebunan ini telah memasok pabrik pulp.
D.
Pengelolaan Air Pada Tanah Gambut
Pengelolaan
air pada lahan gambut pada prinsipnya adalah pengaturan kelebihan air sesuai
dengan kebutuhan tanaman yang dibudidayakan.Tanah gambut mempunyai kemampuan
menyimpan air yang besar dan tergantung tingkat kematangan gambut. Salah satu
sistem yang diterapkan untuk pengelolaan air di lahan gambut adalah sistem
drainase terkendali. Pada dasarnya sistem ini untuk mengatus air secara
terkendali mulai dari tanggul dipasang bangunan pengendali (kontrol) agar dasar
saluran relatif datar dan bangunan pengandali kedua sebelum air dari air keluar
dari lahan menuju ke sungai dengan maksud untuk mengendalikan elevasi muka air
relatif. Bila aliran air keluar tidak akan drastis sehingga dapat mengendalikan
”overdrained” dan mencegah kekeringan yang akhirnya mempertahankan kondisi
lahan tetap terpenuhi keperluan airnya.
Ukuran
bangunan pengendali terutama lebar saluran tergantung komoditas yang
diusahakan, untuk tanaman padi memerlukan kondisi lahan tetap tergenang
sehingga relatif sempit agar aliran muka air relatif terkendali, dan untuk
tanaman perkebunan yang memerlukan kedalaman muka air tanah relatif dalam
sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan kedalaman zona perakarannya.
Pengelolaan air diperlukan karena:
a. kondisi
alami dan restorasi terutama kegiatan koservasi air .
b. pengelolaan
air diperlukan untuk menghilangkan kelebihan air permukaan
(drainase) dan air dibawah permukaan terutama untuk pertanian.
c. pengecegahan
kebakaran dan pertanian : yaitu pengendalian muka air tanah
E.
Fungsi dan Manfaat Ekosistem Gambut
Fungsi
dan manfaat ekosistem gambut mengacu pada kegunaan, baik langsung maupun tidak
langsung bagi masyarakat. Beberapa fungsi dan manfaat dapat diringkas pada
Tabel
1.
Fungsi
Hutan Rawa Gambut Tropis
|
Manfaat
dan Penggunaan
|
Pengaturan
banjir dan arus larian
|
Mitigasi
banjir dan kekeringan di wilayah hilir. Gambut memiliki porositas yang tinggi
sehingga mempunyai daya serap air yang sangat besar. Menurut jenisnya, gambut
saprik, hemik, dan fibrik dapat menampung air berturut-turut sebesar 451%
(empat ratus lima puluh satu per seratus), 450-850% (empat ratus lima puluh
hingga delapan ratus lima puluh per seratus), dan lebih dari 850% (delapan
ratus lima puluh per seratus) dari bobot keringnya atau hingga 90% (sembilan puluh
per seratus) dari volumenya.
Karena
sifatnya itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat (reservoir)
air tawar yang cukup besar sehingga dapat menahan banjir saat musim hujan dan
sebaliknya melepaskan air tersebut pada musim kemarau.
|
Pencegahan
instrusi air laut
|
Kegiatan
pertanian di wilayah pasang surut akan memperoleh manfaat besar dari
keberadaan rawa gambut di wilayah hulu, sebagai sumber air tawar untuk
irigasi dan memasok air tawar secara terus menerus guna menghindari atau
mitigasi intrusi air asin.
|
Pasokan
air
|
Di
beberapa wilayah pedesaan pesisir, rawa gambut bisa jadi merupakan sumber air
yang dapat digunakan untuk keperluan minum dan irigasi untuk beberapa bulan
selama setahun.
|
Stabilisasi iklim
|
|
Penyimpanan
karbon
|
Nilai
keanekaragaman hayati yang dapat ditangkap diperkirakan sebesar US $ 3 (tiga)
per hektar per tahun, tidak termasuk nilai intrinsik jenis, potensi ekowisata
serta bahan-bahan farmasi yang dapat dipasarkan secara internasional (Tacconi
2003). Hutan rawa gambut di asia tenggara semakin menunjukkan peran
pentingnya sebagai bank gen, terutama karena semakin menyusutnya peran hutan
dataran rendah akibat kegiatan pembalakan dan konversi lahan. Bagi berbagai
jenis satwa, lahan gambut menyediakan habitat yang sangat penting, khususnya
pada wilayah yang bersambung dengan air tawar dan hutan bakau.
|
habitat
hidup liar
|
Meskipun
tidak sebanyak di ekosistem hutan tropis, ekosistem lahan gambut menyediakan
habitat penting yang unik bagi berbagai jenis satwa dan tumbuhan, beberapa
diantaranya hanya terbatas pada ekosistem gambut. Di Taman Nasional Berbak
Jambi tercatat sekitar 250 (dua ratus lima puluh) jenis burung termasuk 22
(dua puluh dua) jenis burung bermigrasi.
Sungai
berair hitam juga memiliki tingkat endemisme ikan yang sangat tinggi. Di
samping itu, lahan gambut juga merupakan habitat ikan air tawar yang
merupakan komoditas dengan nilai ekonomi tinggi dan penting untuk
dikembangkan, baik sebagai ikan konsumsi maupun sebagai ikan ornamental.
Beberapa jenis ikan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, termasuk gabus (chana
striata), toman (channa micropeltes), jelawat, dan tapah (wallago leeri).
Sementara
itu, beberapa jenis satwa telah termasuk dalam kategori langka dan terancam
punah serta memiliki nilai ekologis yang luar biasa dan tidak tergantikan,
sehingga sangat sulit untuk dikuantifikasi secara finansial. Beberapa jenis
tersebut diantaranya adalah harimau sumatera (panthera tigris), beruang madu
(helarctos malayanus), gajah sumatera (elephas maximus), dan orang utan
(pongo pymaeus). Seluruh jenis tersebut dilindungi berdasarkan peraturan
perlindungan di Indonesia serta masuk dalam appendix I CITES dan IUCN Red
List dalam katagori endanger species.
|
Habitat
tumbuhan
|
Tidak
kurang dari 300 (tiga ratus) jenis tumbuhan telah tercatat di hutan rawa
gambut Sumatera. Di Taman Nasional Berbak Jambi, misalnya kawasan ini
merupakan pelabuhan bagi keanekaragaman genetis dan ekologis dataran rendah
pesisir di Sumatera. Sejauh ini telah tercatat tidak kurang dari 260 (dua
ratus enam puluh) jenis tumbuhan (termasuk 150 jenis pohon dan 23 jenis
palem), sejauh ini merupakan jumlah jenis terbanyak yang pernah diketahui
|
Bentang
alam
|
Hutan
rawa gambut menempati kawasan yang khusus pada bentang alam dataran rendah,
membentuk mosaik ekologi yang tersusun dari tipe vegetasi khas pada hutan
bakau, diantara hamparan pantai tua, pinggiran sungai serta pertemuan dengan
hutan rawa air tawar
|
Alam
liar
|
Hutan
rawa gambut memiliki nilai alam liar yang luar biasa, jauh dari keramaian dan
hiruk pikuk perkotaan. Hal ini merupakan modal yang sangat berharga untuk
pengembangan pariwisata alam.
|
Sumber
hasil alam
|
Rawa
gambut menyediakan sumber alam yang luar biasa, termasuk berbagai jenis
tumbuhan kayu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti ramin (gonystylus
bancanus), jelutung (dyera costulata) dan meranti (shorea spp).
Beberapa
studi sosial-ekonomi menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat sekitar
terhadap hutan rawa gambut dapat mencapai hingga 80% (delapan puluh per
seratus) dan ini lebih tinggi dari ketergantungan mereka terhadap usaha
pertanian.
|
F.
Ancaman Terhadap Ekosistem Gambut
Selama
lebih dari 30 (tiga puluh) tahun terakhir ini, hutan rawa gambut telah
mengalami pembalakan, pengeringan, dan perusakan dahsyat akibat adanya berbagai
kegiatan yang terkait dengan kehutanan, pertanian, dan perkebunan. Kegiatan
pembalakan baik resmi maupun tidak resmi seringkali melibatkan pengeringan
gambut selama proses ekstraksinya.
Pada
kondisi alaminya yang basah, lahan gambut sebenarnya tidak mungkin untuk
mengalami kebakaran besar. Pada kenyataannya, karena telah banyak mengalami
kekeringan akibat drainase diantaranya untuk perkebunan maupun pengeluaran
kayu, kebakaran kemudian menjadi fenomena umum di lahan gambut. Berbagai
kegiatan seperti pembukaan dan persiapan lahan pertanian, perkebunan, pemukiman,
penebangan yang tidak terkendali, pembangunan saluran irigasi/parit/kanal untuk
perkebunan dan pengeluaran kayu tebangan serta transportasi menyebabkan
kerusakan lahan gambut. Kerusakan yang terjadi tidak hanya menyebabkan
kerusakan fisik (subsiden terbakar dan berkurangnya luasan gambut), tetapi juga
menyebabkan hilangnya fungsi ekosistem dan ekologis gambut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar