BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Konsep Ekosistem Hutan Rawa Gambut
1.1.1
Definisi
Ekosistem
Ekosistem adalah
suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Soemarwoto,
1983). Tingkatan organisasi ini dikatakan sebagai suatu sistem karena memiliki
komponen-komponen dengan fungsi berbeda yang terkoordinasi secara baik sehingga
masing-masing komponen terjadi hubungan timbal balik. Hubungan timbal balik
terwujudkan dalam rantai makanan dan jaring makanan yang pada setiap proses ini
terjadi aliran tenaga dan materi.
Setiap ekosistem
memiliki enam komponen yaitu produsen, makrokonsumen, mikrokonsumen, bahan
anorganik, bahan organik, dan kisaran iklim. Perbedaan antar ekosistem hanya
pada unsur-unsur penyusun masing-masing komponen tersebut. Masing-masing
komponen ekosistem mempunyai peranan dan mereka saling terkait dalam
melaksanakan proses-proses dalam ekosistem. Proses-proses dalam ekosistem
meliputi aliran energi, rantai makanan, pola keanekaragaman, siklus materi,
perkembangan, dan pengendalian (Elfis, 2010).
Ekosistem rnampu
mengendalikan dirinya sendiri dan mampu menangkal setiap gangguan terhadapnya. Kemampuan
ini disebut homeostasis. Tetapi kemampuan ini ada batasnya, bilamana batas
kemampuan tersebut dilampaui, ekosistem akan mengalami gangguan. Pencemaran
lingkungan merupakan salah satu bentuk gangguan ekosistem akibat terlampauinya
kemampuan homeostasis (Elfis, 2010).
1.1.2
Definisi
Hutan
Hutan merupakan sumber daya alam
yang sangat besar peranannya bagi kepentingan hidup manusia dan lingkungan
hidup. Berdasarkan pola pemanfaatan lahan dari hasil rembugan Tata Guna Hutan
Kesepakatan , tercatat bahwa jumlah luas hutan di Indonesia adalah 143.970.615
ha, yang terdiri dari hutan tetap 113.433.215 ha dan hutan produksi yang dapat
dikonversi 30.537.400 ha. Berdasarkan fungsinya, hutan tetap terdiri dari hutan
lindung seluas 30.316.100 ha, hutan suaka alam dan hutan wisata 18.725.215 ha,
hutan produksi terbatas 30.525.300 ha dan hutan produksi tetap 33.886.600 ha
(Dephut, 2004).
Berfokus pada
pemanfaatan hutan produksi di hutan tetap pada mulanya eksploitasi hutan
melalui kegiatan pembalakan (logging) dimulai dari hutan yang berpotensi tinggi
pada lapangan bertopografi relatif ringan yang secara ekologis tidak mudah
terganggu keberadaanya. Akan tetapi karena tekanan permintaan akan hasil hutan
terus meningkat, maka kegiatan pembalakan dewasa ini sudah mencapai
tempat-tempat yang jauh dan sulit medannya, bahkan pada areal dengan katagori
hutan produksi terbatas (Dephut, 1998).
Peranan faktor
lingkungan erat hubungannya dengan tindakan manusia terhadap keseimbangan
ekosistem sumber daya hutan. Gangguan berupa eksploitasi hutan adalah gangguan
yang cukup drastis terhadap keseimbangan ekosistem hutan terutama di
tempat-tempat yang ekologisnya rawan (Sist dan Bertault, 1998; Shariff dan
Miller, 1991; Soerianegera, 1992).
Akan tetapi di sisi lain,
pemanfaatan hutan yang optimal juga penting untuk pemenuhan kebutuhan
masyarakat akan hasil hutan yang makin besar. Dengan demikian, gangguan
kegiatan eksploitasi terhadap ekosistem sumber daya hutan masih dapat diperkenankan,
asalkan terbatas pada intensitas dimana batas daya dukung sumber daya hutan
belum terlampaui. Batas-batas tersebut berupa batas toleransi perubahan
faktor-faktor lingkungan hutan yang masih mencerminkan keseimbangan dinamis
dari ekosistem sumber daya hutan.
Bertolak
dari bagan sederhana tersebut, diperoleh gambaran bahwa gangguan pada salah
satu unsur ekosistem akan mengakibatkan gangguan pula pada unsur lainnya karena
adanya hubungan timbal balik diantara ketiga unsur ekosistem tersebut. Gangguan
terhadap lingkungan hutan dapat terjadi karena adanya aplikasi satu atau lebih
gatra pembalakan yang menyebabkan kemampuan areal tersebut untuk berproduksi
atau beregenerasi menjadi turun atau hilang sama sekali. Gangguan tersebut
dapat berupa menurunnya populasi dan keanekaragaman jenis vegetasi dan satwa,
berubahnya aliran mantap (water yield) dan kualitas air, berubahnya kesuburan
dan sifat fisik tanah serta berubahnya iklim mikro sehingga menyebabkan
ekosistem hutan berubah. Perubahan ini sesuai dengan prinsip alam lingkungan
holocoeonetik, yaitu bila suatu faktor lingkungan berubah, maka perubahan ini
akan mempengaruhi faktor-faktor lainnya (Wenger, 1984; Soerianegara dan
Indrawan, 1984; Indrawan, 2000).
Sistem
silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang
meliputi penebangan, peremajaan dan pemeliharaan tegakan hutan guna menjamin
kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya (Dephut, 1998). Sistem
silvikultur pada hakekatnya merupakan program perlakuan untuk seluruh rotasi.
Batasan ini membantu menjamin beberapa keseragaman dan kontinuitas jangka
panjang dari perlakuan yang diterapkan. Berdasarkan hal tersebut, perhatian
harus difokuskan pada langkah genting (crucial step) dari regenerasi tegakan,
oleh adanya pengertian yang keliru bahwa sistem silvikultur adalah sama dengan
metode penebangan regenerasi hutan yang dapat menyebabkan tegakan menjadi
hilang karenanya (Soerianegara dan Indrawan, 1984; Dephut, 1998; Sist dan
Bertault, 1998).
Perkembangan
sistem silvikultur di Indonesia masih terus berlangsung setelah Direktorat
Jenderal Kehutanan berubah statusnya menjadi Departemen Kehutanan pada tahun
1983. Dalam rangka penyempurnaan sistem silvikultur untuk pengusahaan hutan
produksi alam di Indonesia, sesuai dengan buku Rencana Pengembangan Tahun
Kelima (REPELITA V) 1989/1990 – 1993/1994, Menteri Kehutanan telah mengeluarkan
keputusan Nomor 485/Kpts/II/1989 tanggal 18 September 1989 tentang sistem
silvikultur Pengelolaan Hutan Produksi Alam di Indonesia. Dalam keputusan
tersebut telah ditetapkan antara lain bahwa pengelolaan hutan produksi alam
dapat dilakukan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI),
Tebang Habis dengan Permudaan alami Alam (THPA) dan Tebang Habis dengan
Permudaan alami Buatan (THPB) (Dephut, 1998). Pelaksanaan sistim silvikultur
TPTI di hutan rawa gambut didasarkan pada Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan
Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989. Penetapan sistim silvikultur TPTI yang ada
harus diselaraskan dengan tipe hutan yang bersangkutan. Hutan rawa gambut
seperti halnya tipe-tipe hutan lainnya (kecuali hutan mangrove yang berstatus
hutan produksi) pengelolaannya masih berpedoman pada sistim silvikultur TPTI
yang selama ini diterapkan untuk hutan tanah darat/kering. Mengingat kondisi
ekologisnya berbeda maka perlu dibuat sistim silvikultur tersendiri (Sutisna,
1985; Soerianegera dan Indrawan, 1984; Sist dan Bertault, 1998).
Penebangan hutan
alam dengan sistem silvikultur TPTI jelas akan menurunkan kelimpahan dan
keragaman jenis dalam hutan alam sampai dalam bentuk perubahan struktur, bentuk
komunitas flora-fauna dan berakhir pada gangguan terhadap ekosistem (Soenarno,
1996). Pada hutan alam, 50 cm³penebangan
dengan sistim TPTI pada pohon-pohon yang berdiameter akan berpengaruh pada struktur tegakan dan
komposisi yang meliputi keanekaragaman jenis, indek kesamaan komunitas,
kerapatan, frekuensi dan dominasi. Struktur dan komposisi hutan sebelum
ditebang akan mempengaruhi struktur dan komposisi hutan bekas tebangan, makin
banyak jumlah jenis pohon yang hilang berarti tidak menguntungkan pada
kelestarian jumlah jenis tumbuhan di hutan alam (Soenarno, 1996; Indrawan,
2000; Siregar et al., 2000).
1.1.3
Definisi
Rawa Gambut
Menurut Noor, (2004), rawa adalah kawasan sepanjang pantai,
aliran sungai, danau atau lebak yang menjorok masuk kepedalaman sampai sekitas
100 km atau sejauh dirasakanya pengaruh gerakan pasang. Jadi, lahan rawa dapat
dikatakan sebagai lahan yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut atau
sungai sekitarnya. Pada saat musim hujan lahan tergenang sampai satu
meter,tetapi pada musim kemarau menjadi kering bahkan sebagai muka air tanah
turun mencapai jeluk < 50 cm.
Dalam pengertian yang lebih luas rawa digolongkan sebagai
lahan basah atau lahan bawahan, tetapi tidak berarti bahwa lahan basah atau
lahan bawahan hanya rawa. Menurut konvensi Ramsar (1971) dalam Noor (2004) yang
dimaksud dengan lahan basah adalah daerah rawa, paya, gambut, atau badan
perairan lainnya, baik alami maupun buatan, yang airnya mengalir atau tergenang,
bersifat tawar, payau atau salin, termasuk kawasan laut yang mempunyai jeluk
air pada saat surut terendah tidak lebih dari 6 m. Jadi, batasan konvensi
Ramsar ini persawahan (irigasi),
waduk, dan tambak termasuk lahan basah sehingga pengelolaan yang terkait dengan
pemanfaatan lahan sulfat masam untuk keperluan pertanian, perikanan dapat
mengacu pada pengertian dalam konteks pengelolaan bahan basah.
1.1.4
Ekosistem
Hutan Rawa Gambut
Ekosistem
hutan rawa gambut
merupakan ekosistem yang telah mantap sebagai hasil saling tindak antara
komponen biotik dan lingkunganya dalam kurun waktu sangat lama. Pemanenan hutan
gambut yang berlebihan dapat menggangu atau bahkan mengubah ekosistem itu,
sehingga terjadi perubahan kearah keseimbangan baru.selam menuju proses keseimbangan
baru itu akan mengubah fungsi manfaat bagi manusia.
Menurut Indriyanto (2005), hutan
gambut didefinisikan sebagai hutan yang terdapat pada daerah bergambut ialah
daerah yang digenangi air tawar dalam keadaan asam dan di dalamnya terdapat
penumpukan bahan bahan tanaman yang telah mati. Ekosistem hutan gambut
merupakan suatu tipe ekosistem hutan yang cukup unik karena tumbuh di atas
tumpukan bahan organik yang melimpah.
Namun
demikian, hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang rentan dalam artian
bahwa hutan ini sangat mudah terganggu atau rusak dan sangat sulit untuk dapat
kembali lagi seperti kondisi awalnya.Menyadari hal tersebut, maka perlu sekali
diusahakan upaya-upaya pencegahan atas segala kemungkinan yang menyebabkan
rusaknya hutan ini.
1.2.Faktor
Edaphis Dan Klimatologis Ekosistem Hutan Rawa Gambut
1.2.1.
Faktor
Edaphis Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Tanah
gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan
bahan organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah
mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan
organik lebih dari 50 cm (Suhardjo, 1983). Tanah gambut tersebut pada umumnya
mengandung lebih dari 60 % bahan organik (Driessen, 1977). Tanah gambut atau
tanah organik dimaksud dikenal juga sebagai tanah organosol atau histosol
(Suhardjo, 1983).
Berdasarkan
kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang
mengandung bahan organik berkisar antara 15 % sampai dengan 20 % dan tanah
organik yang mengandung bahan organik berkisar antara 20 % sampai dengan 25 %
bahkan kadang-kadang sampai 90 % mengandung bahan organik (Buckman dan Brady,
1982).
Asian Wetland
Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan
rawa gambut merupakan statu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut (a) selalu tergenang air, (b) komposisi jenis pon beraneka ragam, mulai
dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum Mix. Sampai tegakan
campuran, (c) terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, (d) mempunyai
perakaran yang khas, dan (e) dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam.
Menurut sistem
kalsifikasi taksonomi tanah (USDA, 1975) tanah gambut termasuk kedalam ordo
histosol, yaitu tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20 % tekstur
pasir atau lebih dari 30 % tekstur liat. Lapisan yang mengandung bahan organik
tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Menurut sistem klasifikasi tersebut,
ordo histosol berdasarkan bahan asal dan tingkat perombakannya dibedakan
menjadi empat sub-ordo, yaitu folist, fibrist, hemist dan saprist. Sub-ordo
tersebut berdasarkan kandungan atau ketebalan bahan penciri dan temperaturnya
dibedakan menjadi beberapa kelompok besar. Untuk daerah tropika nama-nama
kelompok besar antara lain : tropofolist, tropofibrist, tropohemist dan
troposaprist.
Kualitas
tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik
pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di dawahnya, faktor
lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya.
Vegetasi bahan pembentuk tanah gambut dipengaruhi oleh keadaan iklim, kualitas
dan tata air tempat pembentukannya. Di daerah dataran tinggi dengan suhu yang
dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus dan mudah melapuk daripada di
dataran rendah atau pantai. Vegetasi rawa atau air semula berupa
rumput-rumputan yang membentuk bahan organik lebih dahulu di lapisan bawah,
untuk kemudian ditimbun oleh bahan vegetasi yang lebih besar di atasnya. Oleh
karena itu, tanah gambut mempunyai lapisan-lapisan dengan perbedaan kualitas
karena vegetasi yang memberikan bahan organik berbeda (Suhardjo, 1983).
Susunan
kimia dan kesuburan tanah gambut ditentukan oleh ketebalan lapisan gambut dan
tingkat kematangan lapisan-lapisannya, keadaan tanah mineral di bawah lapisan
gambut serta kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi lahan gambut
dalam proses pembentukan dan pematangannya (Adhi, 1986). Sifat kimia tanah
gambut dicirikan dengan nilai pH dan ketersediaan unsur nitrogen, fosfor dan
kalium rendah, kejenuhan kalsium dan magnesium yang rendah, diikuti dengan
pertukaran Al, Fe yang cukup tinggi sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan
tanaman (Hakim, 1986). Gambut yang dipengaruhi air sungai, payau atau air laut
lebih kaya unsur hara dibandingkan dengan gambut yang hanya tergantung air
hujan saja. Kualitas air mempengaruhi kesuburan gambut yang terbentuk.
Sedangkan tingkat kesuburan tanah gambut ditentukan oleh kandungan N, K2O,
P2O5, CaO dan kadar abu. Semakin tinggi nilai-nilai tersebut semakin tinggi
kesuburannya (Fleischer dalam Supraptohardjo, 1974).
Menurut
Hakim (1986) berdasarkan nilai-nilai tersebut menggolongkan kesuburan tanah
gambut menjadi tiga yaitu :
(1)
Gambut eutropik yang subur
(2)
Gambut mesotropik dengan kesuburan sedang
(3)
Gambut oligotropik dengan kesuburan rendah
Tabel
1. Kriteria Penilaian Kesuburan Tanah Menurut Pusat Penelitian Tanah (Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1993)
Ciri-ciri tanah
|
Tingkatan
|
||||||||
Sangat rendah
|
Rendah
|
Sedang
|
Tinggi
|
Sangat tinggi
|
|||||
C-organik (%)
|
< 1,00
|
1,00-2,00
|
2,01-3,00
|
3,01-5,00
|
>5,00
|
||||
N-total (%)
a.
Mineral
b.
Gambut
|
< 0,10
|
0,10-0,20
<0,80
|
0,21-0,50
0,80-2,50
|
0,51-0,75
>2,50
|
>0,75
|
||||
Rasio C/N
|
<5
|
5-10
|
11-15
|
16-25
|
>25
|
||||
P2O5 Bray 1 (ppm)
|
<10
|
10-15
|
16-25
|
26-35
|
>35
|
||||
K (me/100g)
|
<0,10
|
0,10-0,20
|
0,30-0,50
|
0,60-1,00
|
>1,00
|
||||
Na (me/100g)
|
< 0,10
|
0,10-0,30
|
0,40-0,70
|
0,80-1,00
|
>1,00
|
||||
Mg (me/100g)
|
<0,40
|
0,40-1,00
|
1,10-2,00
|
2,10-8,00
|
>8,0
|
||||
Ca (me/100g)
|
<2
|
2-5
|
6-10
|
11-20
|
>20
|
||||
KTK (me/100g)
|
<5
|
5-16
|
17-24
|
25-40
|
>40
|
||||
Kejenuhan basa (%)
|
<20
|
20-35
|
36-50
|
51-70
|
>70
|
||||
Kadar abu (%)
|
<5
|
5-10
|
>10
|
||||||
Sangat masam
|
Masam
|
Agak masam
|
Netral
|
Agak alkalis
|
Alkalis
|
||||
pH (H2O)
a. Mineral
|
<4,5
|
4,5-5,5
|
5,6-6,5
|
6,6-7,5
|
7,6-8,5
|
>8,5
|
|||
Sangatmasam
|
Sedang
|
Tinggi
|
|||||||
pH (H2O)
b. Gambut
|
<4,0
|
4-5
|
>5
|
||||||
Tabel 2. Kisaran Nilai dan Tingkat
Penilaian Analisis Agregat Kimia Tanah Hutan Rawa Gambut di Kecamatan Sungai
Mandau Kabupaten Siak
Sifat kimia tanah
|
Kedalaman lapisan contoh
|
|||
0-30
|
30-60
|
|||
Nilai
|
Peringkat
|
Nilai
|
Peringkat
|
|
pH (H2O) Gambut
|
3,2-4,2
|
SM
|
3,0-4,1
|
SM
|
C-organik (%)
|
22,26-42,31
|
ST
|
19,28-45,56
|
ST
|
N-total (%)
|
0,68-1,35
|
SR-S
|
0,38-0,93
|
SR-S
|
P2O5 Bray 1 (ppm)
|
13,5-13,6
|
R
|
13,0-16,5
|
R
|
Ca (me/100g)
|
2,01-7,21
|
R-S
|
1,37-2,69
|
SR-R
|
Mg (me/100g)
|
1,12-1,55
|
S
|
0,91-1,41
|
R-S
|
K (me/100g)
|
0,30-1,44
|
S-ST
|
0,44-0,72
|
S-T
|
Na (me/100g)
|
0,98-2,62
|
T-ST
|
0,98-1,73
|
T-ST
|
Total Basa (me/100g)
|
7,19-10,04
|
5,02-5,23
|
||
KTK (me/100g)
|
68,5-151,6
|
ST
|
67,5-177,8
|
ST
|
Kejenuhan basa (%)
|
4,7-14,7
|
SR
|
2,9-7,4
|
SR
|
Kadar abu (%)
|
22,06-61,71
|
ST
|
21,64-66,83
|
ST
|
Kadar Air Lapang (%)
|
181,6-524,6
|
183,4-453,3
|
||
Kadar Air Tanah (%)
|
127,6-336,9
|
89,2-302,2
|
||
Keterangan :
SM = Sangat Masam T = Tinggi R = Rendah
ST = Sangat Tinggi S = Sedang SR = Sangat rendah
|
Catatan
: Diolah dari data analisis agregrat tanah oleh Laboratorium Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Riau
1.1.5
Faktor
Klimatologis Ekosistem Hutan Rawa Gambut
Iklim
adalah sintesis hasil pengamatan cuaca untuk memperoleh deskripsi secara
statistik mengenai keadaan atmosfier pada daerah yang sangat luas (Barry, 1981
dalam Wenger, 1984). Berdasarkan batasan ruang dimana nilai-nilai yang ada
masih berlaku, maka iklim dibedakan kedalam iklim makro dan iklim mikro.
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984) iklim makro adalah iklim yang nilai-nilainya berlaku untuk daerah yang luas, sedangkan iklim mikro hanya berlaku untuk tempat atau ruang yang terbatas. Dikemukakan lebih lanjut bahwa iklim makro dipergunakan untuk menentapkan tipe iklim, zona iklim, zona vegetasi dan sebagainya, sedangkan iklim mikro berhubungan dengan habitat atau lingkungan mikro. Menurut Kramer dan Kozlowski (1960) dalam Idris (1996), faktor-faktor iklim yang penting bagi hidup dari pertumbuhan individu dan masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban udara, gas udara dan angin.
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984) iklim makro adalah iklim yang nilai-nilainya berlaku untuk daerah yang luas, sedangkan iklim mikro hanya berlaku untuk tempat atau ruang yang terbatas. Dikemukakan lebih lanjut bahwa iklim makro dipergunakan untuk menentapkan tipe iklim, zona iklim, zona vegetasi dan sebagainya, sedangkan iklim mikro berhubungan dengan habitat atau lingkungan mikro. Menurut Kramer dan Kozlowski (1960) dalam Idris (1996), faktor-faktor iklim yang penting bagi hidup dari pertumbuhan individu dan masyarakat tumbuh-tumbuhan adalah cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban udara, gas udara dan angin.
Lingkungan
radiasi di dalam sebuah hutan berbeda dengan daerah tidak berhutan karena
permukaan yang mengabsorbsi di dalam hutan umumnya berbeda di atas tanah dengan
jarak yang terlihat nyata. Pada kebanyakan tajuk, permukaan aktif yaitu
permukaan yang terbanyak menerima radiasi matahari datang adalah lapisan
vegetasi yang berada di atas, yaitu lapisan dengan tingkat kerapatan daun
maksimum. Lapisan ini mengintersepsi dan mengabsorbsi radiasi matahari dan
gerakan angin terbanyak dari udara di atasnya. Apabila tajuk menjadi relatif
lebih terbuka maka radiasi matahari dan angin akan masuk lebih dalam ke dalam
tajuk Nguyen and Sist. 1998; Noor dan Smith, 1987; Sukadaryati et al., 2002).
Pada
daerah terbuka permukaan aktif adalah bagian atas dari lapisan serasah/humus,
atau apabila tidak ada serasah maka permukaan aktif adalah permukaan tanah.
Pada daerah bekas pembalakan, permukaan itu adalah permukaan tanah dan vegetasi
yang tersisa. Kerapatan batang dan penutupan tajuk menentukan bagian dari
radiasi yang dapat mencapai lantai hutan (Grates, 1980 dalam Wenger, 1984).
Jumlah cahaya yang mencapai lantai hutan mengendalikan suhu tanah yang akan
berpengaruh terhadap reproduksi dan vegetasi bawah. Energi pancaran (radiasi)
adalah energi yang berpindah dalam bentuk gelombang elektromagnetik.
Menurut
de Rozari (1987) suhu udara di dekat permukaan mempunyai arti penting bagi
kehidupan oleh karena selain kebanyakan bentuk kehidupan terdapat di permukaan,
juga ada kaitan erat antara beberapa proses kehidupan dengan suhu. Dari segi
biologi, profil suhu udara penting untuk diketahui karena adanya perbedaan yang
tajam antara suhu permukaan dengan udara di atasnya, menyebabkan sebagaian
organisme hidup berada seketika pada dua rejim suhu yang sangat berlainan.
Sebuah kecambah yang baru muncul, memperoleh cekaman bahang luar biasa
dibandingkan dengan cekaman yang akan dialaminya kemudian.
Dalam
sebuah hutan, suhu udara maksimum biasanya lebih rendah dan suhu minimum lebih
tinggi daripada di daerah yang terbuka. Selama siang hari, daun-daun dalam
tajuk menghalang-halangi masuknya radiasi matahari ke lantai hutan. Suhu di
dalam tajuk dipertahankan melalui transpirasi dari daun-daun. Pengaruh ini
mencegah suhu pada siang hari meningkat secara cepat; dengan demikian ruangan
di bawah tajuk lebih dingin daripada daerah terbuka selama siang hari. Pada
malam hari tajuk pohon mencegah kehilangan panas yang cepat dari lapisan batang
melalui radiasi ke angkasa. Oleh karena itu, suhu udara tetap lebih tinggi
dibadingkan dengan di luar hutan (Gates, 1980 dalam Wenger, 1984).
Menurut
Wenger (1984) dan Sukadaryati et al., (2002) suhu maksimum di dalam hutan adalah
berada di bagian atas tajuk. Di bawah lapisan ini, suhu biasanya tetap sampai
ke lantai hutan, bahkan sedikit berkurang jika tajuknya rapat. Apabila tajuk
hutan jarang, suhu udara dekat lantai hutan dapat menjadi lebih panas ketimbang
suhu udara di dalam tajuk. Pada malam hari puncak tajuk menjadi lebih dingin,
yang mengakibatkan inversi sehingga dapat menjerat debu, asap dan CO2 di dalam
dan di bawah tajuk. Pada tajuk yang jarang, udara yang dingin dapat turun dan
berkumpul di atas permukaan lantai hutan.
Jumlah
air atau uap air di udara berpengaruh secara langsung terhadap tumbuhan sebagai
cekaman lingkungan. Udara kering yang menyebabkan pengeringan tanah yang sangat
cepat dan transpirasi tanaman yang luar biasa berpengaruh buruk terhadap
tanaman itu sendiri. Kandungan air yang terlalu banyak diudara
menghalang-halangi pendinginan daun melalui evaporasi dan dapat mengakibatkan
cekaman suhu (thermal stress) (Gates, 1980 dalam Wenger, 1984).
Kelembaban
relatif sangat dipengaruhi oleh suhu. Perubahan suhu harian mengakibatkan
adanya variasi harian dari kelembaban nisbi. Jika suhu meningkat selama jam-jam
siang hari, maka kelembaban nisbi akan berkurang sampai mencapai nilai terendah
dekat tengah sore hari. Bilamana kelembaban nisbi meningkat sampai mencapai
nilai terttingginya sesaat sebelum matahari terbut, maka pada saat itu suhu
mencapai nilai terendah. Umumnya kelembaban di dalam sebuah hutan adalah lebih
tinggi daripada tempat terbuka dikarenakan adanya transpirasi dari daun-daun
dan suhu yang rendah. Selama siang hari, tanah lantai hutan dan tajuk merupakan
sumber kandungan air. Oleh karena itu kelembaban nisbi selama siang hari adalah
tertinggi di dekat tanah lantai hutan, lebih rendah pada lapisan batang dan
lebih tinggi dari daerah tajuk. Fenomena ini disajikan Gates, (1980 dalam
Wenger, 1984).
Kelembaban
relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni berkisar 90 % - 96 %,
baik dalam hutan alami maupun hutan gundul atau lahan kosong. Pada musim
kemarau, kelembaban menurun menjadi 80 %, dan pada bulan-bulan kering berkisar
0 % - 84 % Pada siang hari di muism kemarau, kelembaban dapat mencapai 67 % -
69 %. Tetapi pada pai hari, kelembaban pada musim kemarau lebih tinggi daripada
musim hujan, yaitu dapat mencapai 90 % - 96 % (Rieley, et al., 1996).
Selanjutnya
Wenger (1984) menyatakan bahwa kebanyakan tajuk-tajuk hutan memang ada sedikit
peningkatan kecepatan angin yang relatif di lapisan batang pohon. Akan tetapi
untuk kebanyakan tujuan praktis kecepatan angin di lapisan tersebut, yaitu di
bawah bagian paling rapat dari tajuk dianggap konstan menurut ketinggian.
Buckman
dan Brady (1982) mengemukakan, bahwa perubahan kimia dan terutama biologi di
dalam tanah, tidak akan berlangsung dengan cukup intensif jika suhu tertentu
tidak dipertahankan. Oleh karena itu, suhu tanah merupakan faktor yang sangat
penting. Lebih lanjut dikemukakan, bahwa efek suhu juga bertanggung jawab
terhadap pelapukan fisik yang terjadi di dalam tanah. Pendinginan dan pemanasan
yang berganti-ganti menimbulkan tekanan pada agregat dan bongkah tanah yang
akibatnya mengubah keadaan fisik tanah. Suhu tanah yang sangat mempengaruhi
aktivitas biotis awal dan pertumbuhan pohon paling sedikit tergantung kepada
tiga faktor, yaitu (1) jumlah bersih panas yang diadsorbsi, (2) energi panas
yang diperlukan yang membawa perubahan pada suhu tanah dan (3) energi panas
yang dibutuhkan untuk perubahan lain seperti evaporasi (Buckman dan Bardy,
1982).
Menurut
Gates (1980) dalam Wanger (1984), jumlah panas yang diadsorbsi oleh tanah
ditentukan oleh banyaknya radiasi matahari efektif yang mencapai bumi dan
faktor-faktor setempat seperti warna tanah, kemiringan dan vegetasi penutup
yang mengubah jumlah bersih panas yang masuk.
Dubenmire
(1974) menyatakan bawa warna permukaan tanah mempengaruhi jumlah radiasi yang
dapat diadsorbsi dan mengatur jumlah panas yang disimpan dan diradiasikan
kembali ke atmosfir.
Menurut
Noor (2001) suhu gambut sendiri lebih besar daripada suhu udara antara hutan
dan lahan kosong. Suhu permukaan gambut hampir tetap. Jika keadaan tertutup
hutan, suhu gambut berkisar 25,5 0C – 29,0 0C dan jika keadaan terbuka berkisar
40,0 0C – 42,5 0C. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuka akan merangsang
aktivitas mikro organisme sehingga perombakan gambut lebih dipercepat dan
intensif, sehingga mempercepat terjadinya degradasi gambut, Oleh karena ruang
gerak kehidupan tumbuh-tumbuhan dan mahkluk lainnya terdapat di lapisan
terbawah atmosfir, di dekat tanah, maka apabila perhatian difokuskan iklim
sebagai salah satu unsur ekosistem sumber daya hutan, yang lebih sangat
berkaitan untuk dikaji dalam konteks ini adalah iklim mikro.
de
Rozari (1987) menyatakan, iklim mikro sebagai keadaan udara dalam zona yang
dibatasi di bagian atas oleh arus yang dicapai tanaman tertinggi dan di bagian
bawah oleh tanah atau bagian terbawah dari tanah yang masih bisa dicapai oleh
infiltrasi udara. Lebih lanjut dikemukakan bahwa lapisan terbawah dari atmosfir
ini penting karena pada lapisan inilah kebanyakan parameter cuaca mengalami
perubahan yang mencolok dalam satu kurun waktu.
Menurut
Marsono dan Sastrosumarto (1981) dengan terbukanya tajuk dan terjadinya
kerusakan mekanis pada tumbuhan dan tanah hutan akibat kegiatan penebangan dan
penyaradan maka berubah pula iklim mikro hutan. Intensitas cahaya, kelembaban,
suhu, angin dan parameter iklim mikro lainnya adalah faktor-faktor yang berubah
akibat penebangan dan penyaradan. Perubahan iklim mikro ini penting untuk
dipantau karena akan mempengaruhi sebaran jenis lokal. Lebih lanjut dikemukakan
bahwa kendatipun begitu banyak faktor lingkungan yang berubah akibat penebangan
dan penyaradan, namun ternyata hanya intensitas cahaya, suhu udara dan
kelembaban sajalah yang sangat nyata menentukan pertumbuhan tingkat semai.
Tingkat semai adalah yang pertama kali yang menderita dengan adanya perubahan
iklim mikro akibat pembukaan hutan. Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan
adanya pembukaan hutan intensitas cahaya yang mencapai lantai hutan akan
meningkat, suhu udara dan tanah meningkat dan kelembaban udara berkurang.
Peranan
suhu yang penting dalam pertumbuhan pohon atau vegetasi adalah suhu udara dan
suhu tanah. Suhu pada tajuk pohon akan mempengaruhi pertumbuhan karena suhu
mempengaruhi kecepatan respirasi dan transpirasi. Sedangkan meningkatnya suhu
tanah dapat mematikan aktifitas metabolisme (Spurr dan Barnes, 1980). Menurut
Smith (1983) pada hutan tropis suhu permukaan C karena sinar matahari tertahan
oleh°tanah
hampir tetap yaitu 27 vegetasi, sehingga hampir sama dengan suhu udara.
Sanchez
dalam Bismark (1990) mengatakan bahwa bila pohon di hutan banyak ditebang, C.
Karena radiasi yang°maka suhu permukaan tanah dapat
meningkat 7 - 11 diberikan pada permukaan lebih tinggi. Secara tioritis suhu
yang meningkat di bawah tegakan akibat penebangan dan penyaradan memberi
petunjuk bahwa kelembabannya menurun.
Klimatologis Ekosistem Hutan Rawa Gambut Kecamatan
Sungai Mandau Pengukuran Iklim Periode April-Desember 2012 dan Januari- Maret
2013
Berdasarkan
rekapitulasi data klimatologis sekunder CSR PT. Arara Abadi/Sinar Mas
Tabel 3.
Rata-rata intensitas radiasi matahari (Watt/m2)
No
|
Bulan
|
Radiasi harian (Watt/m2)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1
|
April
|
76,2792
|
67,9921
|
99,0276
|
104,7974
|
116,9920
|
112,9992
|
112,9992
|
2
|
Mei
|
200,0469
|
174,9276
|
176,9499
|
117,4492
|
174,2446
|
169,0770
|
169,0770
|
3
|
Juni
|
179,0429
|
194,0762
|
192,1641
|
124,2261
|
127,9464
|
127,9421
|
127,9421
|
4
|
Juli
|
99,9721
|
112,7721
|
124,6421
|
142,6429
|
124,7627
|
122,7624
|
122,7624
|
5
|
Agustus
|
91,9970
|
99,9974
|
104,0140
|
116,1072
|
117,4104
|
121,0294
|
121,0294
|
6
|
September
|
74,7662
|
79,2497
|
99,7724
|
110,4491
|
119,7776
|
117,9777
|
117,9777
|
7
|
Oktober
|
76,2792
|
67,9921
|
99,0276
|
104,7974
|
116,9920
|
112,9992
|
112,9992
|
8
|
November
|
47,7999
|
74,7471
|
72,9992
|
92,9211
|
101,9924
|
99,9944
|
99,9944
|
9
|
Desember
|
91,9970
|
99,9974
|
104,0140
|
116,1072
|
117,4104
|
121,0294
|
121,0294
|
10
|
Januari
|
74,7662
|
79,2497
|
99,7724
|
110,4491
|
119,7776
|
117,99777
|
117,9777
|
11
|
Februari
|
76,2792
|
67,9921
|
99,0276
|
104,7974
|
116,9920
|
112,9992
|
112,9992
|
12
|
Maret
|
47,7999
|
74,7471
|
72,9992
|
92,9211
|
101,9924
|
99,9944
|
99,9944
|
Tabel 4. Rata-rata suhu udara (oC)
No
|
Bulan
|
Suhu udara harian (oC)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1
|
April
|
25,7
|
29,6
|
31,6
|
31,5
|
31,9
|
31,7
|
29,7
|
2
|
Mei
|
28,3
|
29,7
|
31,5
|
29,7
|
29,1
|
31,9
|
31,9
|
3
|
Juni
|
29,2
|
31,4
|
29,6
|
31,6
|
31,3
|
29,7
|
29,2
|
4
|
Juli
|
29,4
|
31,9
|
29,9
|
31,5
|
31,4
|
31,1
|
29,7
|
5
|
Agustus
|
29,5
|
29,1
|
31,9
|
31,6
|
31,2
|
29,8
|
31,8
|
6
|
September
|
28,7
|
29,8
|
31,7
|
31,4
|
29,9
|
29,3
|
31,6
|
7
|
Oktober
|
28,4
|
29,3
|
31,7
|
31,2
|
29,7
|
29,2
|
31,3
|
8
|
November
|
28,1
|
29,2
|
31,4
|
29,6
|
29,1
|
31,5
|
29,9
|
9
|
Desember
|
29,5
|
29,1
|
31,9
|
31,6
|
31,2
|
29,8
|
31,8
|
10
|
Januari
|
28,7
|
29,8
|
31,7
|
31,4
|
29,9
|
29,3
|
31,6
|
11
|
Februari
|
28,4
|
29,3
|
31,7
|
31,2
|
29,7
|
29,2
|
31,3
|
12
|
Maret
|
28,1
|
29,2
|
31,4
|
29,6
|
29,1
|
31,5
|
29,9
|
Tabel 5. Rata-rata kelembaban udara (%)
No
|
Bulan
|
Kelembaban udara harian (%)
|
||||||
9.00
|
10.00
|
11.00
|
12.00
|
13.00
|
14.00
|
15.00
|
||
1
|
April
|
86
|
84
|
81
|
84
|
86
|
85
|
85
|
2
|
Mei
|
75
|
71
|
69
|
73
|
89
|
69
|
69
|
3
|
Juni
|
79
|
78
|
75
|
69
|
69
|
75
|
76
|
4
|
Juli
|
78
|
76
|
75
|
71
|
71
|
69
|
69
|
5
|
Agustus
|
87
|
81
|
80
|
75
|
76
|
76
|
75
|
6
|
September
|
80
|
78
|
75
|
75
|
75
|
76
|
76
|
7
|
Oktober
|
84
|
82
|
75
|
76
|
76
|
78
|
79
|
8
|
November
|
85
|
81
|
78
|
79
|
78
|
78
|
79
|
9
|
Desember
|
78
|
76
|
75
|
71
|
71
|
69
|
69
|
10
|
Januari
|
87
|
81
|
80
|
75
|
76
|
76
|
75
|
11
|
Februari
|
80
|
78
|
75
|
75
|
75
|
76
|
76
|
12
|
Maret
|
84
|
82
|
75
|
76
|
76
|
78
|
79
|
1.3.Jaring-Jaring
Makanan
Didalam suatu ekosistem, terjadi
interaksi antara komunitas dan komunitas lainnya serta lingkungan abiotiknya.
Interaksi ini dapat menyebabkan aliran energi melalui peristiwa dimakan dan
memakan (predasi). Pada peristiwa aliran energi ini, komponen ekosistem, khususnya
komponen biotik,
memiliki tiga peran dasar, yaitu sebagai produsen, konsumen dan dekomposer.
Proses makan dan dimakan pada
serangkaian organisme
disebut sebagai rantai makanan atau food chains.Semua makanan berasal dari
organisme
autotrofik. Organisme
yang langsung memakan tumbuhan disebut herbivor (konsumen primer), yang memakan
herbivor disebut karnivor (konsumen sekunder), dan yang memakan konsumen
sekunder disebut konsumen tersier. Setiap tingkatan organisme dalam satu rantai makanan disebut
tingkatan trofik. Dalam ekosistem rantai makanan-rantai makanan itu saling bertalian.
Kebanyakan jenis hewan memakan yang beragam, dan makhluk tersebut pada
gilirannnya juga menyediakan makanan berbagai makhluk yang memakannya, maka
terjadi yang dinamakan jaring-jaring makanan ( food web), dengan kata lain
proses rantai makanan yang saling menjalin dan kompleks tersebut dinamakan
jaring-jaring makanan.
Peristiwa perpindahan energi terjadi melalui proses makan dan
dimakan didalam suatu rantai makanan. Peristiwa tersebut membentuk suatu
trofik. Struktur trofik terdiri atas tingkatan-tingkatan trofik. Setiap
tingkatan trofik terdiri atas kumpulan beberapa organisme. Tingkat trofik
pertama ditempati oleh produsen atau organisme autotrof. Pada tingkatan ini,
produsen ekosistem darat adalah tumbuhan sedangkan ekosistem perairan adalah
ganggang dan fitoplankton. Tingkat trofik kedua ditempati oleh organisme
heterotrof atau konsumen. Konsumen adalah organisme yang tergantung pada
organisme lain sebagai sumber makanannya. Konsumen pada tingkat trofik kedua
ini adalah herbivor. Konsumen juga terdiri atas tingkat trofik ketiga, ke empat
dan seterusnya.
Jaring- jaring makanan yaitu rantai-rantai makanan yang
saling berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga membentuk seperti
jaring-jaring. Jaring-jaring makanan terjadi karena setiap jenis makhluk hidup
tidak hanya memakan satu jenis makhluk hidup lainnya.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
2.1
Gambaran Umum
Lokasi Penelitian Ekosistem Hutan Rawa Gambut Sungai Mandau
2.1.1
Gambaran Umum
Lokasi Penelitian Ekosistem Hutan Rawa Gambut Sungai Mandau
Sungai Mandau adalah sebuah Kecamatan
di Kabupaten Siak, Riau,
Indonesia.
Kecamatan Sungai Mandau berdiri tahun 2000, dan sebelumnya adalah bagian dari Kecamatan Mandau,
Kabupaten Bengkalis. Nama Kecamatan Sungai
Mandau diambil dari nama sebuah sungai yang bernama Mandau.
Tidak terdapat sejarah yang pasti kenapa sungai tersebut dinamakan sungai
mandau. Airnya yang berwarna coklat kehitaman merupakan tipikal sungai yang ada
di daerah gambut.Sungai yang berhulu di daerah Mandau ini bermuara di Sungai Siak,
sehingga Sungai Mandau juga terpengaruh pasang surut sebagaimana Sungai Siak.
Letak
wilayah Kec. Mandau terletak antara : 101 derajat 25”43” Lintang Utara,
101 derajat 47 Lintang Utara, 01 derajat 55” 24” Bujur Timur dan 02 01
derajat 41” Bujur Timur. Kecamatan Mandau berbatasan dengan : Sebelah
Utara berbatasan dengan Kec. Bukit Kapur Kodya Dumai, Sebelah Selatan
berbatasan dengan Kec Pinggir Kab Bengkalis, Sebelah Barat berbatasan dengan
Kec. Tanah Putih Kab Rokan Hilir dan Sebelah Timur berbatasan dengan Kec
Bukit Batu Kab Bengkalis.
Kec.
Mandau merupakan hasil pemekaran Kab Bengkalis menjadi 3 kabupaten yaitu
Kab Bengkalis, Kab Siak dan Kab Rohil serta 1 Kotamadya Dumai berdasarkan
UU No. 16 tahun 1999 dan Perda No. 01 tahun 2003 dengan luas
wilayah ± 937,47 Km2 , mengakibatkan tidak semua
wilayah dapat diamankan mengingat personil sangat terbatas dan sarana yang
belum memadai. Kec. Mandau
terdiri dari 9 Kelurahan dan 6 Desa. Wilayah Kec.
Mandau terletak 6 M dari permukaan laut. Dengan ketinggian tersebut, maka
pada umumnya Kec. Mandau banyak tanah yang relatif datar apalagi bila
diperhatikan fisiologinya dimana tingkat kesuburan tanahnya sangat tinggi
sehingga Perusahaan besar maupun Masyarakat banyak yang melakukan
kegiatan perkebunan khususnya Kelapa sawit dan Karet.
Kec.
Mandau sebagian wilayahnya merupakan daerah relativ datar dengan
ketinggian rata – rata 6 sampai 35 Meter dari permukaan laut, Sedangkan akses
menuju Kelurahan / Desa dapat dilalui dengan transportasi darat. Kecamatan
Mandau hanya terdapat 1 ( satu ) anak sungai yaitu Sungai Rangau (
jembatan 2 ). Tingkat kesuburan
tanah di Kec. Mandau sangat tinggi, sehingga banyak perusahaan HPH
/ HGU maupun masyarakat Lokal mengelolah lahan tersebut untuk
perkebunan Kelapa sawit , Karet dan Hutan tanaman Industri.
Dikarenakan Kec. Mandau memiliki tanah relativ datar sehingga sebagian besar
kondisinya daratan dan sebagian kecil rawa. Iklim equator temperatur maksimum
35.oC dan minimum 25.oC, kelembaban rata-rata pada musim
hujan antara 80% sampai dengan 90 % dan pada musim kemarau 60 % - 70%.
2.2
Gambut dan
Pembentukannya
2.2.1
Gambut
Gambut
adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan organik yang
sebagian besar belum terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta
terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Berdasarkan kandungan
bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah mineral yang mengandung
bahan organik berkisar antara 15-20% dan tanah organik yang mengandung bahan
organik berkisar antara 20-25% bahkan kadang-kadang sampai 90% mengandung bahan
organik (Buckman dan Brady, 1982)..
Tanpa memandang
tingkat dekomposisinya, gambut dikelaskan sesuai dengan bahan induknya menjadi
tiga (Buckman dan Brady, 1982) yaitu :
(1). Gambut endapan; Gambut endapan
biasanya tertimbun di dalam air yang relatif dalam. Karena itu umumnya terdapat
jelas di profil bagian bawah. Meskipun demikian, kadang-kadang tercampur dengan
tipe gambut lainnya jika lebih dekat dengan permukaan. Gambut ini berciri
kompak dan kenyal serta bewarna hijau tua jika masih dalam keadaan aslinya.
Kalau kering gambut ini menyerap air sangat lambat dan bertahan tetap dalam
keadaan sangat keras dan bergumpal. Gambut ini tidak dikehendaki, karena sifat
fisiknya yang tidak cocok untuk pertumbuhan tanaman.
(2) Gambut berserat; Gambut ini
mempunyai kemampuan mengikat air tinggi dan dapat menunjukan berbagai derajat
dekomposisi. Gambut berserat mungkin terdapat dipermukaan timbunan bahan
organik yang belum terdekomposisi, sebagian atau seluruhnya terdapat dalam
profil bawah, biasanya terlihat di atas endapan.
(3) Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian.
(3) Gambut kayuan; Gambut kayuan biasanya terdapat dipermukaan timbunan organik. Gambut ini bewarna coklat atau hitam jika basah, sesuai dengan sifat humifikasinya. Kemampuan mengikat air rendah, oleh karena itu gambut kayuan kurang sesuai digunakan untuk persemaian.
Menurut
Darmawijaya (180) berdasarkan faktor pembentukannya, gambut digolongkan menjadi
tiga bagian, yaitu :
(1)
Gambut ombrogen; Gambut ombrogen
terbentuk karena pengaruh curah hujan yang tinggi, dengan air yang tergenang,
tanpa perbedaan musim yang mencolok dan pada daerah tropika yang lebat dengan
curah hujan lebih dari 3000 mm tiap tahun. Bersifat sangat masam dengan pH 3,0
– 4,5.
(2)
Gambut topogen; Gambut topogen terbentuk
karena pengaruh topografi, berasal dari tanaman paku-pakuan dan semak belukar
dan mempunyai pH yang relatif tinggi.
(3)
Gambut pegunungan; Gambut ini terbentuk
karena ketinggian tempat gambut, di daerah katulistiwa hanya terbentuk di
daerah pegunungan dan iklimnya menyerupai iklim di daerh sedang dengan vegetasi
utamanya Sphagnum.
Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al., 1988) yaitu :
Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam (Rosmarkam et al., 1988) yaitu :
(1)
Fibric yang tingkat dekomposisinya masih
rendah, sehingga masih banyak mengandung serabut, berat jenis sangat rendah
(kurang dari 0,1), kadar air banyak, berwarna kuning sampai pucat.
(2) Hemic merupakan peralihan
dengan tingkat dekomposisi sedang, masih banyak mengandung serabut, berat jenis
antara 0,07 – 0,18, kadar air banyak, berwarna coklat muda sampai coklat tua.
(3)
Sapric yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat
jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu banyak dengan warna hitam dan
coklat kelam.
2.2.2
Pembentukan
Gambut
Gambar
3
Proses
pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau yang secara perlahan
ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah (Noor, 2001). Tanaman yang
mati dan melapuk, secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi
lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya)
berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah
dari danau dangkal ini dan secara bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut,
sehingga danau tersebut menjadi penuh (Gambar 1a dan 1b).
Bagian
gambutyang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut dikenal sebagai gambut
topogen, karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah
cekungan. Gambut topogen umumnya relatif subur (eutrofik) karena adanya
pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir
besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut.
Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Tanaman yang
tumbuh dan mati di atas gambut topogen akan membentuk lapisan gambut baru yang
lama kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang mempunyai permukaan
cembung (Gambar 1c).
Gambut
yang terbentuk di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang
proses pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan. Gambut ombrogen mempunyai
kesuburan yang lebih rendah dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir
tidak ada pengkayaan mineral.
2.3.Hutan
Rawa Gambut dan Pembentukannya
2.3.1.Hutan Rawa Gambut
Asian
Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan
bahwa hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut selalu tergenang air, komposisi jenis pohon beraneka ragam
mulai dari tegakan sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum Mix. sampai
tegakan campuran, terdapat lapisan gambut pada lantai hutan, mempunyai
perakaran yang khas dan dapat tumbuh pada tanah yang bersifat masam.
2.2.3
Pembentukan
Hutan Rawa Gambut
Tanah
gambut menempati cekungan diantar dua sungai besar. Bila cekungan tersebut
sempit, gambut yang terbentuk biasanya merupakan gambut dangkal dengan
ketebalan 0,5-1 m sedang dengan ketebalan 1-2 m. Jika jarak horizontal kedua
tersebut cukup jauh hingga beberapa kilometer tanah biasanya membentuk kubah
gambut (peat dome) yang cukup besar.
Pada bentukan kubah gambut seperti ini, semakin ketengah kubah gambut,
ketebalan gambut akan semakin bertambah sampai mencapai belasan meter.
(wibisono,et al 2005 dalam elfis 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar